ASAL USUL PONOROGO
Ponorogo………
Ketika mendengar nama itu setiap orang pasti akan mengaitkannya dengan kesenian adiluhung yang tersohor ke penjuru negeri, REYOG PONOROGO.
Banyak dari kita yang sudah mendengar dan mengetahui tentang sejarah
asal mula Reog Ponorogo,namun sudah tahukah kita sejarah asal usul kota
tempat lahirnya Reyog ini?
Sudah saatnya kita mengenal dan
mengenalkan kepada orang lain (siswa) tentang sejarah kota Ponorogo ini.
Dengan mengenal lebih dalam tentang Ponorogo, diharapkan bisa
menumbuhkan rasa cinta terhadap Ponorogo. Selain itu dengan belajar
tentang sejarah Ponorogo bisa menghargai dan mentauladani
perjuangan-perjuangan pendiri Ponorogo.
***
Pada tahun 1478 Masehi Kerajaan Majapahit
jatuh dan kemasyhurannya telah hilang kemudian muncullah kerajaan baru
yaitu Kerajaan Demak dibawah pimpinan Raden Patah. Raden Bathara Katong
yang merupakan putra dari raja Majapahit Brawijaya V ikut bergabung
dengan kakaknya Raden Patah di Kerajaan Demak. Raden Bathara Katong
dididik kakaknya dengan ajaran-ajaran Islam.
Setelah dewasa Raden Bathara Katong
diberi tugas oleh Raden Patah untuk pergi ke Wengker untuk menyelidiki
daerah tersebut bersama Senapati Sela Aji. Wengker adalah wilayah yang
berada di sebelah timur Gunung Lawu. Batas sebelah selatan adalah laut
selatan, batas timur adalah Gunung Wilis dan batas sebelah utara adalah
wilayah Majapahit. Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji tiba di
wilayah Wengker ketika hari mulai gelap. Mereka mulai kebingungan untuk
menjalankan tugas karena belum mengenal seluk beluk Wengker, ditambah
lagi hari yang mulai menginjak malam. Untunglah dari kejauhan terlihat
nyala api yang menyala. Mereka segera menuju ketempat asal api menyala.
Setelah dekat dari pusat api terlihat sebuah rumah sederhana yang di
sampingnya terdapat bangunan surau kecil.
Kedatangan Raden Bathara Katong dan
Senapati Sela Aji disambut gembira dan senang hati oleh pemilik rumah
dan surau kecil itu, yaitu seorang lelaki tua. Lelaki tua tersebut
mengenalkan dirinya dengan nama Kiai Ageng Mirah. Raden Bathara Katong
dan Senapati Sela Aji mengaku terus terang jika mereka adalah utusan
dari Kerajaan Demak untuk menyelidiki daerah Wengker.
Kiai Ageng Mirah merasa senang hati
menerima tamu agung dari Kerajaan Demak. Keduanya kemudian diajak sholat
magrib berjamaah. Setelah usai sholat Kiai Ageng Mirah mulai
menceritakan seluk beluk dan garis besar daerah Wengker. Setelah hari
larut malam, Kia Ageng Mirah menyuruh mereka menginap dirumahnya.
Keesokan harinya Kia Ageng Mirah
menyertai Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji melihat – lihat
keadaan. Setelah dirasa cukup Raden Bathara Katong dan Sela Aji kembali
ke Demak dengan mengajak Ki Ageng Mirah untuk melaporkan hasil
penyelidikkannya. Setelah mendengar laporan dari Bathara Katong, Raden
Patah memutuskan mengangkat Raden Bathara Katong sebagai penguasa
Wengker, dan mengangkat Senapati Sela Aji sebagai patih. Sedangkan Ki
Ageng Mirah diangkat menjadi penasehat. Raden Bathara Katong bersama
patih Sela Aji dan Ki Ageng Mirah kembali ke Wengker. Mereka disertai 40
prajurit Demak untuk membuka hutan di Wengker. Sesampainya di Wengker
mereka sibuk mencari tempat yang cocok untuk mendirikan kadipaten.
Sampai akhirnya mereka sampai di hutan glagah yang berbau wangi. Raden
Bathara Katong member nama hutan itu Glagah Wangi. Di hutan inilah
rombongan mulai membuka hutan.
Pekerjaan membuka hutan pun selesai,
kemudian dilanjutkan membangun tempat tinggal. Namun dalam pembuatan
tempat tinggal ini mendapatkan halangan. Ketika rumah telah usai
didirikan keesokan harinya rumah-rumah tersebut roboh lagi. Ki Ageng
Mirah tahu kalau ada makhluk yang mengganggu. Ki Ageng Mirah kemudian
mengajak Raden Bathara Katong untuk bertapa. Pada tengah malam muncul
hal gaib yaitu keluar angin besar dan tiba-tiba muncul dua sosok makhluk
tinggi besar. Mereka mengaku penunggu hutan yang dibuka Raden Bathara
Katong, mereka bernama Jayadrana dan Jayadipa. Kemudian Raden Bathara
Katong meminta ijin kepada mereka untuk mendirikan sebuah kadipaten
ditempat tersebut. Setelah mendapatkan izin dari Jayadrana dan Jayadipa
pembangunan dapat diselesaikan dengan lancar. Jayadipa pula yang
kemudian menunjukkan tempat yang cocok untuk pusat kota. Tempat itu
berada di tengah-tengah hutan yang sudah dibuka tersebut. Ditempat ini
pula Raden Bathara Katong menemukan tiga pusaka. Pusaka yang pertama
berbentuk paying yang bernama Payung Tunggul Wulung, pusaka kedua berupa
tombak yang bernama tombak Tunggul Naga. Dan pusaka yang ketiga berupa
sabuk yang bernama Sabuk Chinde Puspita.
Pada saat Raden Bathara Katong mengambil
ketiga pusaka tersebut terjadi tiga kali ledakan besar dan membuat tanah
berhamburan. Tanah – tanah yang berhamburan tersebut kemudian membentuk
lima bukit. Bukit-bukit tersebut ada yang dinamakan Gunung Lima dan
Gunung Sepikul. Sedangkan lobang bekas ledakan menjadi sebuah goa yang
diberi nama Goa Sigala Gala. Ternyata ketiga pusaka terrsebut adalah
milik ayah Raden Bathara Katong, Prabu Brawijaya V. Saat itu Majapahit
di bawah pimpinan Raja Brawijaya V diserang oleh Raja Girindrawardana.
Kemudian Raja Brawijaya mengungsi ke Wengker bersama Jayadrana dan
Jayadipa.
Raden Bathara Katong semakin mantap
membangun Wengker setelah mendapatkan pusaka warisan orang tuanya.
Pembangunan Wengker mulai berkembang dengan baik. Hutan sudah berhassil
dibuka. Rumah sudah didirikan, banyak pendatang yang ikut bergabung
didalamnya. Akhirnya terbentuklah sebuah kadipaten baru. Namun sayang
kota tersebut belum mempunyai nama. Untuk member nama kota tersebut,
Raden Bathara Katong mengadakan musyawarah. Dari musyawarah tersebut
disepakati sebuah nama baru untuk kota tersebut, nama itu adalah Pramono
Rogo. Pramono berarti bersatunya cahaya matahari dan bulan yang
menyinari kehidupan di bumi, dan rogo berarti badan. Nama Pramono rogo
ini lama kelamaan berubah menjadi Ponorogo. Pono berarti tahu akan segala sesuatu, dan rogo berari badan manusia. Jadi Ponorogo berarti manusia yang tahu akan kedudukannya sebagai manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar